Pagi ini, saat saya menyesap secangkir kopi pertama saya, bumi bergetar dengan hebat. Lampu gantung bergoyang-goyang, dan saya merasakan lonjakan adrenalin yang membuat saya langsung melompat dari kursi.
Saya bergegas keluar dari rumah dan mendapati tetangga berlarian keluar dari rumah mereka. Ada yang menangis, ada pula yang saling berpelukan. Kami semuanya terguncang oleh kekuatan gempa yang tak terduga itu.
Dalam kekacauan itu, saya melihat seorang anak kecil yang kebingungan. Dia berdiri sendirian, matanya dipenuhi ketakutan. Tanpa berpikir panjang, saya menghampirinya dan meraih tangannya.
Kami berlari ke tanah lapang terdekat, tempat orang-orang berkumpul untuk berlindung. Gempa susulan terus berlangsung, dan kami berpegangan tangan erat, saling memberikan kekuatan.
Saya tidak mengenal anak itu, tetapi saat itu kami terhubung oleh ketakutan dan kebutuhan akan keselamatan. Gempa itu telah mengguncang tidak hanya tanah di bawah kaki kami, tetapi juga rasa aman dan ketenangan kami.
Untungnya, gempa tidak berlangsung lama. Ketika guncangan akhirnya mereda, kami merasa lega bercampur syukur. Namun, kami tahu bahwa dampaknya akan terasa dalam waktu yang lama.
Rumah-rumah dan bangunan rusak, dan ada korban jiwa. Saya merasa beruntung bisa selamat, tetapi hati saya tertuju pada mereka yang telah kehilangan begitu banyak.
Gempa ini mengajarkan saya pentingnya bersiap menghadapi bencana. Saya menyadari betapa rapuhnya kehidupan dan betapa pentingnya saling membantu di saat-saat sulit.
Ketika saya melihat anak kecil yang ketakutan itu, saya melihat diri saya sendiri. Saya melihat rasa ketakutan dan ketidakberdayaan yang sama. Namun, saya juga melihat kekuatan dalam kasih sayang dan komunitas.
Gempa ini akan meninggalkan bekas dalam ingatan kami, tetapi saya percaya bahwa kita akan menghadapinya bersama. Kita akan membangun kembali, lebih kuat dan lebih bersatu dari sebelumnya.